Selamat Datang

Komisi Pengkajian Teologi (KPT) GKI SW Jabar merupakan badan pelayanan BPMSW GKI Jabar yang bertugas memfasilitasi dan memperlengkapi jemaat untuk memahami teologi yang berkembang di GKI dan berbagai isu teologis, kontemporer. Dalam konteks ini, KPT GKI SW Jabar juga menjalankan kegiatan penelitian dan pengkajian teologi, yakni teologi yang lahir, tumbuh, berjalan dan berkembang di GKI SW Jabar. Seluruh program KPT GKI SW Jabar pada dasarnya diarahkan untuk mendorong perkembangan teologi baik di tingkat jemaat, klasis dan sinode, maupun dalam konteks pergumulan umat Kristen di Indonesia. Di sini KPT GKI SW Jabar menjalankan program-program seperti: (1) Penelitian, (2) Diskusi/Seminar, (3) Membuat Usulan Pegangan Ajaran, (4) Bank Data dan (5) Penerbitan Buku dan Jurnal Teologi. KPT GKI SW Jabar senantiasa berusaha merespon pergumulan teologi yang sedang berlangsung di tengah jemaat untuk mendorong mereka agar mampu menghadapi berbagai tantangan baru di masa depan.

Wednesday 18 November 2015

KPT - September 2014 s/d November 2015



  
September 2014  s/d  November 2015
No.
Kegiatan
Pelaksanaan
Keterangan
1
Digitalisasi dokumen-dokumen lama.
September 2014
Dilaksanakan dalam rangka Peremajaan dokumen-dokumen lama dan Mempermudah warga jemaat mengakses dokumen secara digital.
Saat ini sudah tersedia 42 (empat puluh dua) dokumen elektronik yang bisa diakses warga jemaat melalui blog KPT GKI SW Jabar(http://kptgkiswjabar.blogspot.com/2013/02/dokumen-elektronik.html).
2
Penerbitan Jurnal Penuntun Vol. 15, No. 26, 2014.
November 2014
Pada bulan November 2014 telah diterbitkan Jurnal Penuntun dengan tema “Gereja dan Tantangan di Era Otonomi Daerah”.
3
Diskusi terbatas, untuk para pendeta dan calon pendeta, dengan topik: “Core Business Gereja II”.
Desember 2015
Pada bulan Desember 2015 diadakan diskusi bersama para pendeta dan calon pendeta mengenai kelanjutan konsep “Core Business Gereja”.
4
Rapat program KPT GKI SW Jabar untuk kegiatan tahun 2015.
Januari 2015
Rapat menyepakati  Kegiatan-kegiatan untuk beberapa bulan ke depan: 
  • Melaksanakan diskusi teologi yang memberi perhatian pada isu-isu seputar (1) gereja dan bisnis, (2) keesaan, (3) beberapa tantangan seperti evaluasi KPMS maupun topik-topik yang dibutuhkan oleh sinode. 
  • Menerbitkan bacaan ringan untuk jemaat dan jurnal Penuntun yang memberikan perhatian pada refleksi teologia mengenai isu-isu di bidang hukum.
  • Menyusun rekomendasi terkait pelaksanaan diskusi Core Business Gereja (CBG) II.
5
Menyusun rekomendasi terkait diskusi Core Business Gereja (CBG) II.
Februari 2015

Rekomendasi menekankan:
  • Dibutuhkan upaya yang lebih intensif mengingat CBG dirasakan belum terlaksana dengan baik.
  • Perlunya diskusi CBG dituangkan ke dalam dokumen GKI. 
  • Dibutuhkan pendalaman mengenai tanggungjawab manusia sebagai mahkluk yang aktif dalam konteks perjumpaan dengan Tuhan (CBG).
  • Ada kebutuhan untuk menggumuli relasi antaragama dalam konteks CBG.
6
Rapat tim formasi pengurus KPT periode 2015-2020
April 2015
Membahas dan menyusun pengurus KPT periode 2015-2020. Hasil pembahasan akan diserahkan ke BPH Sinwil Jabar.
7
Seminar “Penyatuan GKI dalam Konteks Gerakan Keesaan di Indonesia”.
Mei 2015
Seminar diadakan untuk merefleksikan perjalanan penyatuan GKI, termasuk tantangan ke depan, dalam arak-arakan ekumenis di Indonesia.
8
Diskusi terbatas mengenai "Tempat Anak dalam Perjamuan Kudus di GKI".
Juni 2015
Diskusi ini dikhususkan untuk para pendeta dan calon pendeta dalam rangka mendengar berbagai pandangan dan tanggapan terhadap pelaksanaan perjamuan kudus anak di GKI.
9
Expert meeting mengenai "Tempat Anak dalam Perjamuan Kudus di GKI"
Juni 2015
Expert meeting diadakan untuk membahas lebih lanjut diskusi sebelumnya ("Tempat Anak dalam Perjamuan Kudus di GKI", diadakan tgl. 8 Juni 2015) dalam rangka penyusunan rekomendasi untuk persidangan GKI SW Jabar.
10
Penyelesaian rekomendasi mengenai "Tempat Anak dalam Perjamuan Kudus di GKI" untuk kebutuhan persidangan GKI SW Jabar.
Juni 2015
Rekomendasi sudah diteruskan untuk selanjutnya dibicarakan dalam persidangan.
11
Seminar dengan tema:   "The Secular and The Religious State, and Their Problems".
Agustus 2015
Seminar diadakan untuk melihat model relasi gereja dan negara yang selama ini ada di dalam sejarah, dan pilihan apa yang tersedia bagi pergumulan masa kini. Hasil seminar akan dimuat di blog KPT GKI SW Jabar (untuk bentuk ringkasnya) dan Jurnal Penuntun (untuk transkrip lengkapnya). Hasil seminar ini diharapkan juga bisa menjadi masukan bagi sinode GKI, apabila memang dibutuhkan, untuk menyusun sikap terjadap RUU Perlindungan Umat Beragama (PUB) yang sedang dipersiapkan pemerintah.
12
Penyusunan bentuk ringkas dari seminar "The Secular and The Religious State, and Their Problems".
Agustus  2015
Bentuk ringkas dimasukan ke dalam blog KPT agar dapat diakses oleh warga jemaat.
13
Pengerjaan Jurnal Penuntun Vol. 16,  No. 27, 2015
September – Oktober 2015
Kerjasama dengan panitia HUT PGI ke-16.
14
Finalisasi pengurus KPT periode 2015-2020
November 2015
Dilaksanakan dalam koordinasi dengan tim formasi.
14
Penerbitan Jurnal Penuntun Vol. 16, No. 27, 2015
November 2015
Kerjasama dengan panitia HUT PGI ke-16.



Sunday 8 November 2015

Jurnal Penuntun Vol. 16, No. 27, 2015

Pendahuluan

Laporan hasil survei/penelitian Biro Litkom Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), tentang Potret dan Tantangan Gerakan Oikoumene: Laporan Penelitian Oikoumene PGI 2013, menunjukkan bahwa kendala serius gerakan ekumenis di Indonesia saat ini ialah kelangkaan kader ekumenis, pada satu sisi, dan jebakan pelembagaan ekumenis itu sendiri (dalam arti kesulitan menemukan bentuk atau wujudnya). Dengan kata lain, isu formasi ekumenis (ecumenical formation) yang berwawasan kebangsaan – melahirkan generasi dengan spiritualitas dan pengetahuan yang memadai dalam rangka memengaruhi gerak kehidupan gereja di tengah masyarakatnya – sungguh satu soal mendasar. Di balik soal formasi dan kader ekumenis, tentu ada soal “gagasan penyimpul” (rallying point) yang diperlukan agar gairah dan gerak keesaan terjadi (dan diminati warga gereja), serta mendapatkan fondasi yang solid dan relevan. Berbarengan dengan itu, bentuk/wujud gerakan ekumenis pun terus mencari ekspresinya agar semakin visible. Dalam konteks ini, selain pengembangan karya PGI, pendayagunaan forum-forum ekumenis dan proses dialog di tingkat lokal maupun nasional dapat menghadirkan bentuk visible dari gerakan ekumenis. Maka, percakapan atau dialog lintas gereja/denominasi guna membangun solidaritas antargereja, jejaring kerja lintas-agama untuk kerja-kerja kemanusiaan diharapkan semakin tampak sebagai wujud keesaan tersebut.

Penelitian Biro Litkom-PGI juga menunjukkan betapa isu sustainability gereja dan lembaga ekumenis menjadi isu utama lainnya. Dengan kata lain, ada keharusan membangun kemandirian gereja dan masyarakat, terutama dalam hal pembiayaan hidupnya; antara lain mendorong badan-badan pengelolaan keuangan masyarakat semacam credit union beroperasi. Badan-badan seperti ini diharapkan bisa sintas, namun juga berperan dalam membuka jejaring ekonomi untuk pengembangan diri gereja dan masyarakat.

Menghadapi kerasnya tantangan-tantangan di atas, memang bisa terjadi kemandekan dalam gerakan ekumenis; tidak munculnya gagasan/teologi yang menghubungkan berbagai pihak dan kader, ekspresi keesaan dan kerjasama antarkomunitas tak terjadi, lalu masing-masing gereja/komunitas sibuk untuk sekadar menghidupi diri sendiri dari hari ke hari, kader/aktor ekumenis tidak berkembang dan disorientasi. Sekiranya gereja mendiamkan soal-soal problematis ini, dan tidak meretas jalan-jalan yang sudah dibayangkan tadi, maka kemandekan bisa mengarah pada kematian gerakan itu sendiri. 

Dalam rangka mengatasi kemandekan tersebut, Jurnal Penuntun edisi khusus ini diharapkan, pada satu sisi, dapat menguraikan dasar-dasar problematis gerakan ekumenis serta menjernihkannya. Kemudian pada sisi lain, menemukan jalan-jalan aksi yang kreatif dalam rangka memaknai dan mewujudnyatakan gerakan keesaan di Indonesia.


KPT GKI SW Jabar dan Panitia HUT ke-65  
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia


Daftar Isi

  • Kata Pengantar Ketua KPT GKI SW Jabar (Essy Eisen)
  • Kata Pengantar Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (Henriette Lebang)
  • Kata Pengantar Ketua Panitia Pelaksana HUT ke-65 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (Michael Wattimena)
  • Pendahuluan
  • Prolog - Gerakan Ekumenis di Indonesia: antara Harapan dan Realitas (Gomar Gultom)
  • Merawat Visi Ekumenis: 65 Tahun PGI (Trisno S. Sutanto)
  • Menghidupkan dan Mengelola Organisasi Ekumenis Sebagai Gerakan Umat (Sigit Triyono
  • Hidup Berkecukupan dalam Etos Keugaharian: Alternatif Ekonomi Gerakan Ekumenis Indonesia?  (Martin Lukito Sinaga & Olivia M. Payung Allo)
  • Gerakan Ekumenis di Indonesia: Tantangan Masa Kini (A. A.Yewangoe)
  • Melanjutkan Gerakan Ekumenis di Era serba Digital (Denni H.R. Pinontoan)
  • Tantangan Gerakan Ekumenis: Masa Depan dan Kontribusi Pentakostal (J. Gultom)
  • Senior GMKI dan Gerakan Ekumenis (Rekson Silaban & Marim Purba)
  • Perempuan dan Kepemimpinan Ekumenis (Rainy MP. Hutabarat)
  • Pemahaman-Diri Kristiani di Tengah Kemajemukan Agama (Joas Adiprasetya)
  • Pekabaran Injil dan Tempatnya dalam Gerakan Ekumenis (Beril Huliselan)
  • Proses Gerejawi di GKI dalam Perspektif Gerakan Keesaan: Kontribusinya, Komplikasinya, serta Ilusinya (Yusak Soleiman)
  • Epilog (A.A. Yewangoe)

****************

Thursday 20 August 2015

The Secular and The Religious State, and Their Problems

(Diskusi KPT GKI SW Jabar, 1 Agustus 2015)


Tema “The Secular and The Religious State, and Their Problems” merupakan medan pergumulan yang luas mengingat berbagai macam isu bisa menjadi bagian di dalam tema besar tersebut. Dalam konteks seminar yang diadakan Komisi Pengkajian Teologi (KPT) GKI SW Jabar − pada tanggal 1 Agustus 2015, di kantor sinode GKI SW Jabar − DR. van den Broeke (pembicara dari Vrije Universiteit Amsterdam) memberi perhatian pada isu relasi gereja dengan negara, serta pilihan apa yang dimiliki kekristenan untuk bersikap baik terhadap negara sekuler maupun negara agama. Bagi van den Broeke, ada berbagai variasi di dalam sejarah yang memperlihatkan model relasi negara dan agama, termasuk posisi gereja terhadap negara. Di sini van den Broeke memberi perhatian pada beberapa model yang umumnya dijumpai di dalam sejarah, tentunya dengan kesadaran bahwa ada variasi lain di luar model-model tersebut.

Selain beberapa model yang ada, van den Broeke juga menelusuri pandangan beberapa teolog dalam rangka memahami relasi gereja dengan negara. Hal ini mengingat upaya memahami relasi gereja dan negara membutuhkan penelusuran terhadap bagaimana relasi tersebut telah digumuli secara teologis dalam sejarah kekristenan yang panjang. Ini penting untuk melihat pilihan-pilihan yang dimiliki kekristenan di dalam sejarah. Namun, bagi van den Broeke, di sini perlu diperhatikan bahwa ada perbedaan konteks antara para teolog tersebut dengan kita di sini; baik perbedaan ecclesiastical context maupun constitutional context. Dan karena itu, setelah melakukan penelusuran, van den Broeke mencoba masuk dalam beberapa hal yang menjadi bagian dari konteks saat ini; baik di Indonesia maupun Eropa.


Relasi gereja dan negara (bagaimana gereja memahami hubungannya dengan negara) pada dasarnya bisa dilihat dari pilihan model pemerintahan gereja yang dianut atau dipilih oleh sebuah gereja. Dengan kata lain, model pemerintahan gereja tidak sekedar menggambarkan teologi gereja mengenai jabatan dan relasi local church dengan supra-local church. Namun, juga menggambarkan bagaimana gereja memahami relasinya dengan negara. Model episcopal hierarchical system misalnya, di mana uskup menjadi pihak yang in charge di dalam gereja, relasi gereja dan negara diwarnai dengan pergulatan (struggle) yang panjang mengenai siapa yang sesungguhnya in charge di dalam societas perfecta (perfect society). Posisi ini bertolak belakang dengan gereja yang menganut sistem kongregasional. Secara umum, sekalipun ada perbedaan (variasi) di sana-sini, gereja dengan sistem kongregasional cenderung memandang dirinya (gereja) terpisah dari negara. Sementara bagi gereja dengan model presbiterial synodical system, relasi gereja dan negara dipahami dalam bingkai kolaborasi antarkedua institusi tersebut (gereja dan negara). Bagi van den Broeke, ketiga model ini pada dasarnya tidak sepenuhnya bisa menggambarkan konteks politik dan agama yang saat ini berkembang di Amerika Utara, Eropa, Afrika Selatan dan Indonesia. Namun, secara umum ketiga model ini bisa dijumpai dalam sejarah panjang kekristenan; di dalamnya tergambar bagaimana gereja memahami relasinya dengan negara.


Dalam konteks politik, van den Broeke melihat ada lima model relasi negara dan agama (sebagai institusi) yang tersebar di berbagai negara; tentunya dengan catatan bahwa ada variasi lain di luar kelima model tersebut. Model pertama adalah Totalitarian secularism, umumnya dijumpai di wilayah Eropa Timur atau di negara Komunis. Dalam model ini, negara mengambil posisi sebagai negara sekuler yang membatasi, atau bahkan menolak, segala

bentuk agama. Ini bertolak belakang dengan model kedua, yakni Theocracy di mana agama menguasai negara; umumnya hidup di negara agama (seperti Islamic state) atau dijumpai juga pada kalangan Kristen dan beberapa teolog di masa lalu. Pada model ketiga, yakni classic secular model − seperti gagasan Laïcité di Perancis − menekankan penolakan terhadap adanya official religion; Agama dan negara tidak saling mencampuri satu dengan yang lain. Sementara model keempat, Pluralistic cooperation, justru menekankan kerjasama antara institusi agama dengan negara; menurut van den Broeke, model ini bisa dilihat di Belanda sekalipun saat ini mulai ada pergeseran ke arah classic secular model. Kemudian model kelima, yakni privileged church, memberi tempat khusus pada apa yang disebut state church; misalnya di Inggris (dengan gereja Anglikan), negara-negara Skandinavia dan Yunani (dengan Greek Orthodox Church).

Apabila pada bagian sebelumnya van den Broeke menelusuri bagaimana gereja (sebagai institusi) membaca relasinya dengan negara. Pada bagian berikutnya, van den Broeke masuk pada pembacaan beberapa teolog mengenai bagaimana relasi gereja dan negara harus dipahami secara teologis. Pada teolog-teolog sebelum abad ke-20, van den Broeke melihat pergulatan teologis lebih terfokus pada persoalan siapa yang in charge di dalam masyarakat. Agustinus (354-430) misalnya menolak posisi kaisar Konstantinus yang memandang bahwa gereja merupakan instrumen negara, dan karena itu harus melayani negara. Bagi Agustinus, gereja sama sekali bukan intrumen negara. Justru, negara yang harus melayani dan melindungi gereja dalam mengerjakan keselamatan bagi umat manusia. Dalam konteks ini, gereja memiliki posisi yang lebih tinggi dari pada negara (the city of man) mengingat negara seharusnya menjadi Kristen dan mematuhi Allah. Oleh karena itu, negara bertanggungjawab untuk mengerjakan keselamatan dan keadilan bagi umat manusia. Teolog lain seperti Thomas Aquinas (1225-1274) juga memperlihatkan kemiripan dengan Agustinus, yakni menempatkan posisi gereja di atas negara; baik dalam urusan spiritual maupun dalam urusan duniawi (temporal affair). Dan karena itu, negara harus mendukung gereja menjalankan perannya. Namun, berbeda dengan Agustinus, Aquinas memahami negara dengan menempatkannya ke dalam the order of creation. Hal ini membuat Aquinas memandang negara ada untuk bonum commune (commonwealth); negara memiliki tanggungjawab mengerjakan dan mendistribusikan keadilan.


Pada abad ke-15, Martin Luther (1483-1546) membalikkan posisi yang dianut oleh Agustinus dan Aquinas. Bagi Luther, gereja berada di bawah negara dalam urusan duniawi (temporal affair). Negara harus menjadi negara, sementara gereja tidak boleh secara politis terlibat di dalamnya. Gereja dan negara memiliki wilayahnya sendiri-sendiri; regiment of word adalah wilayah gereja, sementara wilayah negara adalah regiment of sword. Posisi ini berbeda dengan Yohanes Calvin (1509-1564) yang memandang bahwa gereja memiliki fungsi politis dan negara memiliki tanggungjawab keagamaan (memproteksi gereja dan umat). Di sini Calvin menekankan koordinasi antara gereja dan negara; kedua-duanya tidak dapat dipisahkan secara total, namun juga tidak tumpang tindih.


Di abad ke-20, Karl Barth (1886-1968) muncul dengan gagasan non-religious movement untuk membahasakan peran gereja di tengah masyarakat dalam konteks relasi gereja dengan negara. Barth memiliki pandangan yang positif terhadap negara mengingat dia memandang negara sebagai the instrument of God’s grace. Namun, bagi Barth, negara tetap harus menjadi negara dan gereja harus menjadi gereja; keduanya memiliki tugas yang berbeda. Di sini gereja tidak boleh berpolitik, namun gereja juga harus berperan dalam non-religious movement di tengah masyarakat. van den Broeke memandang bahwa posisi seperti ini harus dibaca dalam konteks pengalaman buruk perang dunia II dan persoalan Nazi di Jerman. Karena itu, sekalipun Barth menekankan bahwa gereja harus fokus pada tugasnya (melayani Allah dan sesama) dan tidak boleh berpolitik. Namun, gereja tetap memiliki tanggungjawab “politis” dalam bentuk non-religious movement.  


Dietrich Bonhoeffer (1906-1945) masuk lebih jauh lagi dengan menekankan pentingnya church for others. Gereja tidak boleh menarik diri menarik diri dari masyarakat mengingat gereja menjadi gereja pada saat gereja hadir bagi yang lain. Hal ini membuat Bonhoeffer meyakini bahwa keberadaan gereja sangat penting bagi negara mengingat gereja hadir bukan untuk dirinya sendiri. Di sini kita melihat, dalam konteks abad ke-20, pergulatan relasi gereja dan negara bergeser dari perdebatan mengenai siapa yang in charge di dalam masyarakat (apakah gereja di atas negara atau sebaliknya) menjadi

gereja sebagai social movement. Gereja tidak lagi dilihat sebagai institusi yang harus dipisahkan dari kehidupan sosio-politik, namun harus terlibat aktif sebagai social movement. Dalam konteks ini juga van den Broeke menyinggung tokoh seperti Martin Luther King Jr. (1929-1968) yang banyak bergerak di wilayah civil right and nonviolence movement. King memberi perhatian besar pada dimensi sosial gereja di mana gereja tidak sekedar berputar pada persoalan relasi gereja dan negara, namun masuk ke dalam pergumulan mengenai tanggungjawab sosial gereja. Hal yang sama bisa dilihat juga pada Dorothy Sölle (1929-2003), seorang political public theologian, yang berjuang melawan ecclesial apathy di mana gereja hanya berputar pada urusan internalnya. Di sini Sölle menekankan pentingnya gereja berdiri untuk memperjuangkan hak-hak manusia.

Persoalan relasi gereja dan negara seringkali diwarnai oleh pertalian antara persolan identitas (agama), ekonomi dan politik. Ketiga hal ini sulit  dipisahkan, dan karena itu di dalam negara yang sekuler pun (berdasarkan konstitusinya) kita bisa menjumpai ketiga hal ini bergerak di dalamnya. van den Broeke mencontohkan negara seperti Serbia yang berdasarkan konstitusi adalah secular democratic state. Namun dalam praktek, ada keistimewaan yang diberikan negara kepada gereja Orthodoks Serbia. Bahkan dalam konstitusi di Serbia, dan beberapa negara Eropa Timur, ada sedikit ruang yang diberikan kepada beberapa gereja di luar gereja mayoritas di negara tersebut. Hal ini dibaca van den Broeke sebagai bentuk proteksi negara terhadap gereja mayoritas dari serbuan gereja-gereja Injili yang di danai oleh Amerika. Dengan kata lain, pada negara yang mengklaim dirinya sekuler pun (paling tidak berdasarkan konstitusi), kadang dijumpai praktik-praktik yang tidak sepenuhnya sekuler. Di sini van den Broeke mengritik kalangan sekuler, khususnya di Belanda, yang ingin menyingkirkan segala hal yang berbau agama dari ruang publik. Bagi van den Broeke, upaya seperti ini bertolak dari pandangan yang keliru bahwa ada kontradiksi antara secular values dan spiritual values. Lalu, agama itu sendiri dipandang akan meredup. Kenyataannya, pergeseran tatanan sosio-politik dunia justru melahirkan realitas yang berbeda, yakni kebangkitan agama-agama, termasuk wajah kekristenan di Eropa. Bahkan, di dalam negara yang dianggap sekuler pun selalu ada ruang bagi religious values


Penekanan pada netralitas negara membawa orang pada argumen bahwa negara harus sekuler. Dan karena itu, agama harus dinetralisir dari ruang publik. Namun bagi van den Broeke, netralitas negara tidak berarti agama harus disingkirkan dari public market, dan juga tidak berarti non-intervention of the state. Netralitas negara justru berarti negara memberi ruang bagi organisasi keagamaan untuk berkembang, sementara organisasi keagamaan tidak terlibat jauh dalam political affairs. Dalam konteks netralitas tersebut, negara bisa melakukan intervensi untuk menjamin kemerdekaan beragama, misalnya terhadap tindakan hate speech yang dilakukan di ruang publik. van den Broeke mencontohkan seorang pendeta di Skotlandia yang dituntut karena melakukan hate speech terhadap Islam di ruang publik. Demikian juga di Belanda, yakni setiap orang (termasuk para jurnalis) bisa dituntut secara hukum karena ada batasan terhadap kebebasan berekspresi dan jaminan kemerdekaan beragama di dalam ruang publik. 


Dalam konteks abad ke-21, di mana gereja harus bergumul dengan masalah intoleransi agama dan negara sekuler, van den Broeke memandang tidak mudah menemukan jawaban tunggal terhadap tantangan tersebut. Ini sangat tergantung pada bagaimana kita memahami konteks di mana kita berada, juga tergantung pada bagaimana gereja dan negara harus dipahami. Namun, bagi van den Broeke, apa yang dilontarkan oleh Bonhoeffer dan Sölle bisa menjadi pertimbangan untuk memahami tempat agama di ruang publik, termasuk relasinya dengan negara. 


Dan rasanya ini merupakan masukan yang penting bagi kita di Indonesia. Relasi agama dengan negara (termasuk tempat agama dalam ruang publik) tidak harus terjebak dalam cara berpikir institusional (yang kadang campur baur dengan sentimen identitas, ekonomi dan politik). Namun, relasi tersebut bisa dibaca dalam bingkai agama sebagai sebuah gerakan (social movement) yang menghidupkan kemerdekaan dan hak-hak manusia di ruang publik.


Friday 3 October 2014

Jurnal Penuntun No. 26: Gereja dan Tantangan di Era Otonomi Daerah

Apabila dihitung sejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 (tentang Pemerintahan Daerah) dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 (tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah) maka pelaksanaan otonomi daerah (Otda), pasca-Soeharto, sudah berlangsung lebih dari satu dasawarsa dan menghasilkan 538 daerah otonom (34 provinsi, 411 kabupaten dan 93 kota). Apabila dibaca secara politik – sebagaimana diusulkan oleh Robert Endi Jaweng dalam tulisannya yang berjudul Apa dan Bagaimana Otonomi Daerah: Beberapa Catatan Penerapannya di Indonesia – otonomi merupakan pengakuan atas kewenangan dan keberdayaan politik warga (citizen politics) dalam konteks memperkuat demokrasi. Oleh karena itu, otonomi lebih dari sekedar persoalan desain kelembagaan. Melalui otonomi, negara kesatuan hendak dirawat melalui pengakuan atas keberdayaan masyarakat lokal di mana hubungan antara daerah dengan pusat maupun hubungan antardaerah dikelola secara demokratis. Di dalamnya berlangsung penguatan budaya politik yang demokratis, baik di tingkat warga maupun elite, serta penguatan kewenangan daerah untuk mengelola keragaman, layanan publik dan kesejahteraan berbasis keunikan/potensi lokal di tiap daerah. Dalam pembacaan Jaweng, desain kelembagaan yang terkait dengan penyerahan berbagai urusan pusat ke daerah harusnya memperkuat tujuan politik dari otonomi tersebut, yakni keberdayaan rakyat secara politik, ekonomi dan sosio-budaya.
Pada kenyataannya, perjalanan otonomi – yang telah berlangsung lebih dari satu dasawarsa – ternyata menimbulkan sejumlah persoalan yang mencederai moral-demokrasi (berbasis hak-hak dasar manusia) yang seharusnya hidup di dalam pelaksanaan otonomi. Jaweng misalnya mencatat bagaimana favoritisme berbasis identitas lokal dilembagakan dalam berbagai peraturan daerah (Perda), belum lagi berkembangnya otonomi versi elite yang telah membajak rakyat sebagai subjek atas distribusi anggaran, alokasi sumber data dan kebijakan publik. Tulisan Jaweng dapat membantu kita untuk membaca defisit demokrasi yang berlangsung seiring pelaksanaan Otda, termasuk beberapa catatan kritis yang perlu diperhatikan gereja-gereja dalam rangka memperkuat demokrasi.
Catatan Jaweng mengenai berkembangnya favoritisme berbasis identitas, yang muncul dalam sejumlah peraturan daerah, bisa didalami lebih lanjut melalui uraian Maruarar Siahaan dalam tulisan berjudul Peraturan Daerah yang Diskriminatif dalam Sistim Hukum Nasional Indonesia Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Di sini kita bisa menyusuri lebih jauh hubungan antara kedaulatan rakyat dengan pergulatan hukum nasional yang seharusnya tersusun secara hirarkis dan menjamin prinsip demokrasi berbasis kedaulatan rakyat. Pergeseran politik ke daerah memiliki implikasi munculnya berbagai Perda diskriminatif yang bertabrakan dengan konstitusi. Ini berlangsung seiring berkembangnya politik lokal, terjadinya tumpang tindih soal kewenangan pusat dan daerah – misalnya agama yang seharusnya menjadi wewenang pusat, tapi dalam pelaksanaan diatur dalam Perda – serta persoalan dualism kelembagaan dalam judicial review yang membuat Perda bisa saja bertabrakan dengan konstitusi. Bagi Siahaan, selain masalah pembenahan sistem hukum nasional, dibutuhkan juga kerja-kerja di tingkat lokal untuk memperkuat masyarakat yang inklusif. Dengan demikian, tidak semua persoalan harus diselesaikan melalui jalur hukum, namun bisa juga melalui jalur kultural untuk memperkuat masyarakat lokal yang inklusif.
Di antara berbagai persoalan yang menyelimuti pelaksanaan Otda, ledakan politik identitas dan eksploitasi kekayaan alam merupakan persoalan serius mengingat dampaknya pada pergeseran tatanan sosial, budaya, ekonomi dan politik di tingkat lokal. Bahkan, sebagaimana dicatat oleh Puspitasari dalam tulisan berjudul Politik Identitas dalam Era Otonomi Daerah, persoalan ini sesungguhnya memiliki dampak terhadap imajinasi masyarakat mengenai Indonesia itu sendiri. Dalam imajinasi tersebut, kepekaan terhadap persoalan-persoalan keadilan seperti sirna ditelan narasi identitas yang menjadi konstruksi dalam membaca masyarakat lokal dengan segala kepentingannya. Bagi Puspitasari, narasi identitas berlahan-lahan menumpulkan tanggungjawab kita (termasuk gereja) terhadap isu-isu keadilan dan terbentuknya jarak sosial di dalam masyarakat; masyarakat seperti berbicara dengan bahasa yang tidak mereka pahami satu dengan yang lain mengingat mengingat basis kepentingan yang berbeda. Tulisan ini bisa dikaitkan dengan catatan Beril Huliselan, dalam tulisan yang berjudul Komplikasi Penguasaan Sumber Daya Alam di Era Otonomi Daerah: Catatan dari Beberapa Wilayah di Indonesia, mengenai terbentuknya kekerasan simbolik di tingkat lokal. Hal ini terjadi mengingat kekuatan modal ekonomi, yang terhubung dengan kekuatan politik dan budaya/adat, menerjemahkan dirinya menjadi kekuatan simbolik sehingga penguasaan/eksploitasi sumber-sumber ekonomi lokal tampak sebagai sesuatu yang legitimate. Tantangan ini semakin diperumit dengan potensi membekunya segmentasi agama dalam segmentasi sosio-budaya. Dampaknya, pengaruh agama untuk menggerakan komitmen umat/rakyat semakin tereduksi.
Jurnal kali ini ditutup dengan sebuah catatat yang cukup komperhensif terkait tantangan gereja-gereka di era Otda. Di sini Trisno S. Sutanto, dalam tulisan yang berjudul Gereja dan Politik Pasca-Orde Baru: Beberapa Catatan Reflektif, membantu kita untuk melihat bagaimana sesungguhnya kerumitan yang dihadapi gereja-gereja di tingkat lokal. Di dalamnya, kita diingatkan akan pentingnya gereja-gereja, secara bersama-sama, merumuskan visi teologi politis – yang memberi arah bagi peran politik gereja bersama agama-agama lain – dan pentingnya kemandirian gereja dalam rangka menjalankan tanggungjawab sosial politiknya di tengah masyarakat.
Akhir kata, Jurnal Penuntun kali ini diharapkan dapat membantu gereja-gereja dan berbagai kalangan untuk memotret persoalan riil yang tengah dihadapi di era Otda.  Dan tentunya, gereja-gereja bersama berbagai lembaga yang ada di tengah masyarakat diharapkan dapat merespon tantangan yang ada utnuk mewujudkan kedaulatan rakyat secara ekonomi, politik dan kebudayaan.***

Monday 28 April 2014

Kebijakan Agraria Yusuf di Mesir (Kej. 47:13-26)

 (Catatan Diskusi KPT GKI SW Jabar mengenai 
Kebijakan Agraria Yusuf di Mesir)


Kitab Kejadian 47:13-26, diberi judul “Tindakan Yusuf” oleh Lembaga ALkitab Indonesia (LAI), memuat cerita mengenai kebijakan yang diambil Yusuf di tengah bencana kelaparan yang melanda wilayah Mesir dan Kanaan. Bagian ini (Kej. 47:13-26) dibuka dengan cerita mengenai bagaimana Yusuf mengumpulkan uang dari hasil penjualan gandum dan membawanya ke dalam Istana Firaun (Kej. 47:13-14). Kemudian, ditutup dengan sebuah ketetapan yang berhubungan dengan kebijakan agrarian di Mesir: “Yusuf membuat hal itu menjadi suatu ketetapan mengenai tanah di Mesir sampai sekarang, yakni bahwa seperlima dari hasilnya menjadi milik Firaun; hanya tanah para imam yang tidak menjadi milik Firaun” (Kej. 47:26).

Di antara bagian pembuka dan penutup, terdapat dua proposal yang mewarnai dialog antara Yusuf dengan penduduk Mesir terkait bencana kelaparan. Proposal pertama diusulkan oleh Yusuf, yakni barter antara ternak (kuda, kambing domba,lembu sapi dan keledainya) yang dimiliki rakyat Mesir dengan makanan yang disediakan oleh pihak kerajaan (Kej. 47: 15-17). Sementara proposal kedua – setelah uang dan ternak mereka (rakyat Mesir) habis – datang dari rakyat Mesir, yakni pihak kerajaan bukan saja membeli tanah, tapi juga membeli rakyat mesir dan menjadikan mereka hamba (budak). Setelah itu, pihak kerajaan memberikan makanan dan benih yang harus ditaburkan (digarap) di tanah yang sudah dikuasai pihak kerajaan. Kesepakatan ini kemudian diikuti ketentuan bagi hasil panen yang ditentukan oleh Yusuf (kerajaan): “Mengenai hasilnya, kamu harus berikan seperlima bagian kepada Firaun, dan yang empat bagian lagi, itulah menjadi benih untuk ladangmu dan menjadi makanan kamu dan mereka yang ada di rumahmu, dan menjadi makanan anak-anakmu" (Kej. 47: 24).

Dalam penelusuran Yonky Karman (dosen Perjanjian Lama dari STT Jakarta yang menjadi pembicara), teks ini (Kej. 47: 13-26) telah lama menjadi perdebatan di kalangan akademisi mengingat Yusuf dipandang mempraktekkan perbudakan yang justru bertentangan dengan semangat pembebasan dalam kitab keluaran. Bahkan, narasi ini tidak memperlihatkan Yusuf sebagai seorang yang berakal budi dan bijaksana.

Asal-usul Teks
Dalam memahami Kej. 47: 13-26, karman mengajak kita melihat keberadaan narasi tersebut sebagai sebuah blok yang diletakkan (disisipkan) antara Kej. 47: 11-12 dan Kej. 47: 27-28. Apabila blok narasi tersebut (Kej. 47: 13-26) dikeluarkan maka alur cerita pada dua bagian kitab Kejadian (Kej. 47: 11-12 dan Kej. 47: 27-28) akan terihat mengalir. Karman kemudian menyimpulkan bahwa blok narasi ini sesungguhnya berdiri sendiri, namun kemudian disisipkan ke dalam kisah para leluhur Israel. Apabila demikian, lalu bagaimana sebenarnya asal-usul dari blok ini?

Dalam uraian yang disampaikan oleh Karman, asal-usul dari Kej. 47: 13-26 tampaknya sulit untuk ditemukan. Karman memperkirakan blok ini terkait dengan situasi politik yang terjadi di kerajaan Utara (Israel) mengingat: (a) istilah bet yosep (keturunan Yusuf) umumnya merujuk penduduk di kerajaan Utara (Am. 5:6, 15; 6:6; Ob. 18; Za. 10:6), sementara bet Yehuda (kaum Yehuda) untuk kerajaan Selatan, (b) munculnya unsur-unsur Mesir di dalam blok tersebut. Oleh karena itu, menurut Karman, kemungkinan blok ini digunakan oleh kerajaan Utara – yang saat itu (pasca Salomo) mendapat dukungan dari kerajaan Mesir – terkait kebutuhan akan legitimasi politik atas wilayah Utara dan Selatan. Dalam blok narasi tersebut, Yusuf bukan saja mendapat dukungan dari Firaun, namun juga dijadikan berkuasa atas seluruh wilayah Mesir. Alur ini terlihat mirip dengan posisi Yerobeam I (raja pertama di wilayah Utara; ± 930 – 909) yang saat itu mendapat dukungan politik dari Sisak (raja Mesir yang memberi perlindungan bagi Yerobeam I saat Salomo masih berkuasa).

Kesulitan di atas, terkait asal-usul blok narasi Kej. 47: 13-26, membawa Karman pada pemikiran bahwa penelusuran terhadap fungsi dan makna dari narasi tersebut jauh lebih penting. Dengan kata lain, apabila blok narasi Kej. 47: 13-26 adalah sebuah sisipan yang asal-usulnya sulit ditentukan, lalu apa fungsi dan makna sisipan tersebut dalam kisah leluhur Israel?


Fungsi Narasi
Dalam rangka menelusuri fungsi dari blok narasi Kej. 47: 13-26, Karman meletakkannya dalam konteks sejarah leluhur Israel dan kisah eksodus, serta memperhatkan informasi/keterangan penting yang hendak ditonjolkan dalam narasi tersbut. Hal ini kemudian membawa Karman pada pemikiran bahwa, pertama, blok ini berperan untuk menghubungkan tradisi mengenai leluhur Israel (Kej. 12-50) dengan tradisi eksodus (Kel. 1-12). Khususnya, terkait migrasi keturunan Yakub di Mesir dan kekejaman yang terjadi setelah Yusuf yang menjadi pemicu peristiwa eksodus. Kedua, blok narasi ini juga memiliki fungsi etiologi, yakni menjelaskan: (a) penguasaan tanah rakyat oleh pihak kerajaan, (b) pungutan (upeti) seperlima dari hasil panen untuk kerajaan dan (c) tidak diambilnya tanah para imam oleh pihak kerajaan. Menurut Karman, biasanya fungsi etiologis dimasukan karena narrator ingin menjelaskan asal-usul dari sebuah peristiwa atau praktik tertentu yang sudah tidak diketahui lagi oleh audiens pada saat narasi tersebut ditulis. Lalu fungsi ketiga, Karman memperkirakan blok narasi ini berperan juga untuk menjelaskan perbedaan penguasaan tanah yang terjadi di Mesir dan Israel.

Berdasarkan alur dalam blok narasi tersebut, penguasaan tanah rakyat oleh pihak kerajaan terjadi pada: (a) masa kelaparan, (b) atas proposal dari rakyat Mesir sendiri dan (c) peran Yusuf yang menonjol dalam politik agraria, termasuk penetapan pungutan (upeti) atas tanah. Alur seperti ini memperlihatkan peran Yusuf yang sangat penting dalam penguasaan tanah rakyat oleh pihak kerajaan dan penetapan upeti. Apabila diletakan secara historis, Karman memandang tidak ada data historis yang menunjukan bahwa Yusuf merupakan biang keladi penguasaan tanah rakyat oleh kerajaan. Kisah Yusuf biasanya diletakkan pada masa Hiksos (± 1803-1550 SM.), sementara penguasaan tanah oleh kerajaan baru terjadi setelah masa Hiksos (± 1540-1070 SM.). Ini belum lagi posisi raja Mesir yang dipandang sebagai titisan dewa sehingga secara otomatis berkuasa atas tanah di seluruh wilayah kerajaan. Hal ini membuat Karman memandang bahwa blok narasi mengenai tindakan Yusuf (Kej. 47: 13-26) merupakan midras etiologis yang berada di luar kerangka kisah Yusuf dan berfungsi menjelaskan beberapa hal di atas.

Teks dan Masalah Perbudakan
Persoalan yang sangat sensitif terkait blok narasi Kej. 47: 13-26 adalah praktik perbudakan di mana Yusuf berperan di dalamnya. Memang, sebagaimana terlihat pada teks, rakyat Mesirlah yang mengusulkan agar Yusuf (pihak kerajaan) membeli mereka (rakyat) dan tanah mereka mengingat beratnya bencana kelaparan saat itu. Namun, Yusuf pada dasarnya melaksanakan kebijakan istana yang bukan saja mengambil alih ternak yang dimiliki rakyat, tetapi juga tanah dan rakyat itu sendiri. Dengan kata lain, bencana kelaparan dimanfaatkan oleh Yusuf (pihak kerajaan) untuk menguasai seluruh alat produksi, termasuk menguasai rakyat itu sendiri.
Pada ayat 21, digambarkan bahwa setelah Yusuf mengambil alih semua alat produksi maka rakyat mulai diperhambakan (budak) oleh pihak kerajaan: “Dan tentang rakyat itu, diperhambakannyalah mereka di daerah Mesir dari ujung yang satu sampai ujung yang lain” (Kej. 47:21). Menurut Karman, dalam kitab suci Yahudi (JPSV dan TNK) tidak digunakan istilah “diperhambakan”, melainkan “memindahkan”.

And as for the people, he removed them city by city, from one end of the border of Egypt even to the other end thereof (JPSV, 1917).
And he removed the population town by town, from one end of Egypt’s border to other (TNK, 1985).

Ini berbeda dengan Septuaginta (LXX) dan Pentateukh Samaria yang menggunakan istilah “memperhambakan”, bukan “memindahkan”. Menurut Karman, perbedaan ini bisa terjadi pada saat penyalinan kitab suci mengingat kata h’byr (memindahkan) dan h’byd (memperhambakan) memuat di dalamnya bentuk huruf yang mirip, yakni huruf “R” (ר) dan huruf “D” (ד). Para penafsir umumnya memilih istilah “memperhambakan”, sebagaimana digunakan dalam Septuaginta (LXX) dan Pentateukh, karena memindahkan seluruh penduduk dari kota ke kota dipandang tidak rasional; sulit dilakukan. Terlepas dari istilah mana yang hendak digunakan, Karman berpendapat bahwa realitas yang ditemukan di dalam teks adalah pihak kerajaan menjadi pemilik (penguasa) atas tanah dan atas rakyat, sementara rakyat hanya bekerja sebagai penggarap. Kemudian, seperlima dari hasil panen harus diberikan kepada pihak kerajaan sebagai upeti karena mereka (rakyat) mengelola tanah kerajaan.

Selain masalah penyalinan, persoalan juga ditemuka pada penerjemahan istilah ébed dalam konteks idiom (konstruksi kalimat): haya + ébed + preposisi + persona. Dalam konstruksi ini, istilah ébed kadang diterjemahkan menjadi ‘hamba’ (Kej. 9:26) , ‘budak’ (Kej. 44:10), ‘takluk’ (2Raj. 17:3), ‘melayani’ (Ams. 11:29; Alkitab BIS) dan ‘bekerja’ (Ams. 12:9). Terkait masalah ini, Karman mengusulkan agar istilah ébed dalam blok narasi Kej. 47: 13-26 diterjemahkan dengan mengacu pada Ams. 11: 29 dan 12: 9 sehingga terjemahannya menjadi “kami dengan tanah kami akan melayani Firaun (ay. 19) dan “kami akan bekerja untuk Firaun” (ay. 25).

Berdasarkan apa yang ada pada teks di atas, sesungguhnya perbudakan tidak terlihat sebagai praktik penindasan dan kekejaman dari pihak Yusuf (kerajaan) terhadap rakyat. Bahkan, bagi hasil (upeti) yang ditetapkan Yusuf (kerajaan) hanya sebesar seperlima (20%) dari hasil panen. Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan upeti yang berlangsung pada masa Hammurabi, yakni berkisar 50%-66%. Selain itu, menurut Karman: (a) dalam blok narasi Kej. 47: 13-26 tidak muncul perlawanan atau keluh kesah rakyat terhadap kebijakan agrarian yang dilakukan pihak kerajaan, dan (b) tidak ada catatan sejarah yang memperlihatkan perlawanan rakyat terhadap praktik perbudakan. Sebaliknya, dalam konteks bencana kelaparan, rakyat Mesir menyetujui dan berterima kasih atas kebijakan agrarian tersebut: “Lalu berkatalah mereka: "Engkau telah memelihara hidup kami; asal kiranya kami mendapat kasih tuanku, biarlah kami menjadi hamba kepada Firaun” (ay. 25). Oleh karena itu, bagi Karman, praktik perbudakan (hamba) yang berlangsung dalam blok narasi ini harus dibaca dalam konteks standar moral Timur Tengah kuno. Dengan kata lain, praktik yang ada dalam blok narasi Kej. 47: 13-26 tidak bisa diidentikan dengan isu empire di mana kekuatan modal (the power of capital) menerjemahkan diri ke dalam struktur kerakusan yang menindas dan menghisap segala aspek dalam kehidupan manusia.

Penutup
Dalam refleksinya, Karman memandang bahwa blok narasi Kej. 47: 13-26 tetap relevan dibaca dalam konteks politik pangan dunia ketiga mengingat negara hadir untuk memastikan ketersediaan dan kemandirian pangan bagi rakyatnya. Memang, dalam narasi ini negara tampil begitu kuat sehingga muncul bentuk kapitalisme negara dalam dunia Timur Tengah kuno.  Namun, bagi Karman, masalah ini tetap harus dilihat baik dalam konteks Timur Tengah Kuno maupun peran yang kuat dari negara untuk mengupayakan kemandirian pangan.